Cakrawala9.com, Mamuju – Peran Pemerintah Kabupaten Mamuju dalam Mendistribusikan Kesejahteraan terhadap UMKM: Antara Program dan Panggung.
I. Pendahuluan
Setiap kali pemerintah daerah berbicara tentang pemberdayaan UMKM, seolah-olah kesejahteraan rakyat sudah di depan mata. Baliho dipasang, festival digelar, dan slogan “UMKM Bangkit” menggema di ruang publik. Namun di balik semaraknya jargon, para pelaku usaha kecil masih bergulat dengan hal yang sama: modal yang seret, pasar yang sempit, dan izin yang kadang lebih rumit daripada rumus ekonomi itu sendiri.
Kabupaten Mamuju ibu dari Sulawesi Barat sesungguhnya punya potensi besar untuk menjadikan UMKM sebagai motor kesejahteraan. Tapi potensi tanpa arah hanyalah retorika yang tersimpan dalam dokumen RKPD yang tebalnya bisa menandingi novel epik. Pemerintah daerah boleh saja bangga dengan sederet agenda “inkubasi bisnis” atau “UMKM Expo”, tapi pertanyaan paling mendasar tetap menggantung: apakah kegiatan itu mendistribusikan kesejahteraan, atau sekadar mendistribusikan panggung?
II. Landasan Teori dan Fakta Lapangan
Secara teori, pemerintah daerah adalah dirigen ekonomi lokal: mengatur nada antara modal, pasar, dan kebijakan agar melahirkan harmoni kesejahteraan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 sudah cukup jelas: UMKM harus menjadi basis ekonomi rakyat. Namun di lapangan, suara teori sering kalah oleh suara mikrofon acara seremonial.
Data BPS Kabupaten Mamuju menunjukkan sebagian besar unit usaha di daerah ini adalah usaha mikro dan kecil tulang punggung ekonomi lokal, tetapi juga tulang yang sering dibiarkan retak. Dari sektor pertanian, perdagangan kecil, hingga industri rumah tangga, mayoritas pelaku UMKM masih berjalan sendiri tanpa ekosistem dukungan yang kuat.
Sementara itu, pemerintah daerah (Pemda) mengumandangkan semangat kolaborasi dan peningkatan ekonomi rakyat. Ada pula upaya verifikasi dan pendataan UMKM yang dilakukan lewat Dinas Koperindag dan Rumah BUMN, mencatat sekitar 300 pelaku usaha binaan di Mamuju. Angka itu patut diapresiasi tapi juga patut dipertanyakan: dari sekian ribu pelaku usaha yang hidup di Mamuju, ke mana yang lain?
III. Pemerintah Daerah: Antara Fasilitator dan Fotografer
1. Fasilitator atau Sekadar Penonton Modal?
Idealnya, pemerintah daerah menjadi jembatan akses permodalan bukan penjaga pintu yang sibuk memeriksa formulir. Skema kredit usaha rakyat (KUR), bantuan bergulir, hingga kemitraan dengan bank daerah seharusnya jadi peluru utama. Namun, di lapangan, banyak pelaku UMKM yang lebih hafal prosedur pinjaman di pinjol ketimbang di Dinas Koperasi.
Di sinilah pemerintah kabupaten harus berani menjadi wasit yang adil, bukan hanya komentator ekonomi. Hibah dan bantuan modal harus transparan dan berbasis data, bukan berbasis kedekatan.
2. Regulator yang (Mungkin) Lupa Membuka Pintu
Pemerintah Kabupaten Mamuju telah memiliki regulasi yang ramah UMKM di atas kertas mulai dari penyederhanaan izin hingga insentif pajak daerah. Tapi di lapangan, birokrasi kadang seperti labirin tanpa peta: pelaku usaha kecil tersesat di antara meja dan tandatangan. RKPD tahunan menyebut “penguatan sektor UMKM,” namun indikator keberhasilannya sering kali berhenti di laporan kegiatan, bukan kesejahteraan.
3. Akselerator Digital: Antara Wi-Fi dan Wacana
Era digital membuka peluang besar, tapi sebagian pelaku UMKM di Mamuju masih sibuk mencari sinyal, bukan pelanggan online. Pemerintah memang mulai menggelar pelatihan digitalisasi dan promosi melalui event seperti Festival Mamuju 2025 , namun tanpa jaringan internet yang merata dan pendampingan berkelanjutan, pelatihan hanya menjadi foto bersama dengan sertifikat.
Digitalisasi UMKM seharusnya bukan proyek event, melainkan proses panjang membangun kapasitas dan kepercayaan diri pelaku usaha lokal.
4. Kolaborator atau Kolektor Tanda Tangan?
Kolaborasi multipihak memang sedang ramai disebut — pemerintah daerah, Rumah BUMN, komunitas, dan swasta. Tapi kolaborasi sejati bukan hanya soal MoU yang tebal atau spanduk kerja sama. Ia harus diukur dari seberapa banyak UMKM naik kelas, bukan seberapa banyak pejabat naik panggung.
IV. Realitas Dampak dan Distribusi Kesejahteraan
Mari jujur : Kesejahteraan di tingkat UMKM belum terdistribusi secara merata. Masih banyak pelaku usaha kecil yang bekerja keras tanpa mendapat akses pembiayaan, pelatihan, atau promosi. Sementara itu, program bantuan kadang tersangkut pada politik alokasi, bukan logika kebutuhan.
PDRB Mamuju memang menunjukkan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan tidak otomatis berarti pemerataan. Angka makro bisa naik tanpa mengangkat dapur rakyat. Dan di sinilah ironi pembangunan daerah: kesejahteraan sering diukur dari tabel Excel, bukan dari isi dompet pelaku UMKM.
V. Tantangan dan Satire Solusi
Beberapa tantangan klasik Mamuju tak bisa disembunyikan di balik narasi “Mamuju Keren” atau “Ekonomi Bangkit”:
1. Pendataan UMKM masih setengah jalan — banyak pelaku usaha tak terdaftar, tapi entah bagaimana, daftar penerima bantuan selalu penuh.
2. Birokrasi lamban masih menjadi penyakit kronis: formulir menumpuk, niat masyarakat rontok.
3. Digitalisasi belum merata, sementara promosi daring masih sebatas konten di akun dinas yang sepi interaksi.
Solusinya?
Gunakan pendekatan data, bukan pendekatan drama. Pendataan terintegrasi bisa membuat bantuan lebih tepat sasaran ketimbang seribu seremoni.
Integrasikan program UMKM dengan kegiatan desa karena ekonomi tumbuh dari bawah, bukan dari podium.
Jadikan Festival Mamuju bukan sekadar pesta foto, tapi laboratorium ekonomi rakyat tempat transaksi nyata terjadi.
Dan yang terpenting, jadikan kebijakan ekonomi rakyat sebagai kebijakan berani bukan sekadar wacana aman.
VI. Penutup: Antara Harapan dan Kenyataan
Pemerintah Kabupaten Mamuju masih punya kesempatan besar untuk membuktikan bahwa kebijakan tidak harus berhenti di meja rapat. Sebagai daerah dengan potensi sumber daya dan budaya yang kaya, Mamuju bisa menjadi model distribusi kesejahteraan berbasis UMKM jika kemauan politik beriring dengan keberanian moral.
Karena pada akhirnya, kesejahteraan bukanlah proyek, tapi hasil dari kesungguhan. Rakyat tidak butuh banyak pidato tentang “ekonomi kerakyatan” mereka butuh kesempatan nyata untuk hidup lebih baik. Dan jika pemerintah daerah ingin benar-benar mendistribusikan kesejahteraan, mungkin langkah pertama yang harus mereka distribusikan adalah: kejujuran dalam niat.
Esai ini disusun oleh – Ray Akbar Ramadhan – dengan dukungan asisten kecerdasan buatan ChatGPT (GPT-5) yang dikembangkan oleh OpenAI. Bantuan AI digunakan dalam penyusunan kerangka, pengembangan argumen, dan penyuntingan bahasa tanpa mengubah substansi pemikiran penulis.
Kamis, 06 November 2024














